Kamis, 28 Januari 2010

Mengingat Allah Swt adalah Tanda Cinta

Ketika cinta telah bertahta, yang ada hanyalah keinginan untuk selalu berdua, bersama, bercengkrama, setiap saat dan di setiap tempat. Tidak sesaatpun waktu berlalu, kecuali keinginan untuk selalu berduaan dengan sang kekasih pun terus mengiringi. Ketika rasa cinta telah bersemayam dan menguasai hati manusia, niscaya kecenderungan untuk selalu bersama dan berdua saja pun senantiasa memenuhi hati dan kepala. Ketika sebuah nama telah terukir manis pada segumpal darah yang dikenal dengan sebutan hati, maka tidak ada tempat untuk yang lain lagi. Hati tak henti bahkan meski di alam mimpi, ingin bertemu, ingin berdua, ingin berbagi, ingin bercerita, ingin mengadu, ingin bermanja dan dimanja, ingin memandang dan dipandang, ingin berbisik, ingin selalu bermesraan.

Itulah gambaraan seseorang kekasih yang tengah dimabuk asmara, gambaran seorang pecinta yang tengah tergila-gila kepada kekasih hatinya. Dan alangkah indah dan mulianya manakala rasa cinta tersebut tertuju kepada yang memang benar-benar berhak untuk menerimanya.



Allah swt, Dia-lah satu-satunya Zat yang paling berhak untuk mendapatkan rasa cinta yang tertinggi. Begitu banyak manusia yang mengaku cinta kepada Allah swt, namun tidak pernah terbentuk dalam realita kehidupannya.

Jika kita memang mencintai Allah swt, jangan biarkan realisasi rasa cinta itu lebih rendah dari rasa cinta terhadap sesama dan segala hal yang berbau duniawi. Ingatlah bahwa ketika cinta telah bertahta, maka yang ada hanyalah keinginan untuk selalu berdua, bersama, bercengkrama, setiap saat dan di setiap tempat. Tidak sesaatpun waktu berlalu, kecuali keinginan untuk selalu berduaandengan sang kekasih pun terus mengiringi. Ketika rasa cinta telah bersemayam dan menguasai makhluk Allah swt, niscaya kecenderungan untuk selalu bersama dan berdua saja pun senantiasa memenuhi hati dan kepala. Ketika sebuah nama telah terukir manis pada segumpal darah yang dikenal dengan sebutan hati, maka tiada tempat untuk yang lain lagi. Hati tak henti bahkan meski di alam mimpi, ingin bertemu, ingin berdua, ingin berbagi, ingin bercerita, ingin mengadu, ingin bermanja dan dimanja, ingin memandang dan dipandang, ingin berbisik, ingin selalu bermesraan. Dan inti dari semua itu adalah senantiasa ingat akan kekasih tercinta, kapanpun dan dimanapun.

Jika kita memang mencintai Allah swt, jika memang Allah swt adalah Zat yang paling kita cinta, sekarang marilah kita renungkan sejenak mengenai pertanyaan sederhana berikut?

“Pernahkah atau seberapa seringkah kita ingat kepada Allah swt?”

Selalu ingat, adalah salah satu faktor yang harus ada dalam ikatan cinta. Jika kita mencintai Allah swt, berarti kita harus sering-sering berduaandengan Allah swt. Lalu, kapan dan bagaimanakah cara kita untuk selalu ingat kepada Allah swt?

“Kapan kita harus selalu ingat kepada Allah swt?”, pertanyaan ini akan dijawab dengan cara menjawab pertanyaan “Kapankah biasanya kita ingat akan kekasih kita?”, dan jawabannya adalah “kapanpun ketika ada kesempatan”. Begitu juga untuk berduaan dengan Allah swt, kapanpun ketika ada waktu maka kita harus selalu ingat kepada Allah swt. Dan hebatnya, ternyata seluruh waktu yang ada bagi manusia adalah dapat digunakan untuk selalu ingat kepada Allah swt (kecuali pada saat buang air atau sedang berada di dalam toilet).

Selalu ingat kepada Allah swt harus dilakukan dan memang dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun (kecuali pada saat buang air atau sedang berada di dalam toilet), asalkan orang tersebut mengerti bagaimana cara melakukannya.

“Bagaimanakah cara kita untuk selalu ingat kepada Allah swt?”, inilah pertanyaan yang sebenarnya sangat mudah namun banyak orang yang tidak mengetahuinya dan banyak pula orang yang mengetahui tapi tidak mau mengaplikasikannya.

Selalu ingat kepada Allah swt dapat dilakukan dengan cara beribadah dan berkomunikasi kepada-Nya. Sholat fardhu yang dilakukan sebanyak 5 waktu dalam sehari semalam, adalah salah satu cara selalu ingat kepada Allah swt. Kemudian, intensitas mengingat Allah swt juga dapat ditambah dengan cara menambah ibadah sholat kita dengan sholat-sholat sunnah yang banyak sekali jenisnya.

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaaha : 14)

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al ‘ankabut : 45)

Dan mengingat Allah swt yang paling indah, biasanya dilakukan oleh umat muslim yang beriman di sepertiga malam. Ketika hampir seisi dunia terlelap, ia bangun dan menyempurnakan wudhu, kemudian sholat melaksanakan tahajjud. Di sepertiga malam inilah, di saat hampir semua makhluk terlelap, ia bertemu dan bermesraan dengan Allah swt, ia mengadu, bermanja, memuji, menyanjung, merendahkan dirinya, menangis dan mengungkapkan rasa cintanya.

“ Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),” (QS. Al Muzzammil : 1 – 2)

Sholat merupakan salah satu cara untuk selalu ingat kepada Allah swt. Namun, sholat merupakan ibadah yang telah ditentukan waktunya, tidak dapat dilakukan semau kita (kapanpun). Lalu, bagaimanakah cara kita untuk dapat senantiasa bertemu dan selalu ingat kepada Allah swt?

Jawabnya sangat sederhana, yaitu dengan cara berdzikir kepada Allah swt. Inilah satu-satunya cara untuk senantiasa mengingat Allah swt kapanpun dan dimanapun, tanpa batas (kecuali ketika sedang buang air atau sedang berada di dalam toilet).

“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al ahzab : 41)

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka".” (QS. Ali imran : 191)

Indah nian gambaran cinta yang demikian, yang terjadi antara seorang hamba kepada Rabb-nya, Allah swt. Ketika hati telah terisi oleh kalimat “tiada tuhan selain Allah”, maka tiada lagi tempat untuk berbagi kepada selain Allah swt. Ketika kepala telah penuh dengan kalimat “tiada tuhan selain Allah”, maka tiada lagi kecurangan untuk berkhianat kepada Allah swt.

Itulah gambaran bagi seorang yang tengah dimabuk cinta kepada Allah swt. Allah swt adalah kekasihnya, segalanya dan yang paling utama baginya. Tak bosannya lidah mengucapkan kata-kata cinta, kata-kata merayu, kata-kata merindu dan seluruh kata bermadu.Tak hentinya lidah menyebut dan memuji kekasihnya, Allah swt. Tak lelahnya hati dan pikirannya terus mengingat,menyatu dan selalu cercumbu dengan Allah swt.

Makna Dzikir

"Menjaga kesehatan hati sanubari di tengah godaan duniawi"

Etimologi kata dzikir: Ingat

Dari sudut bahasa arti dzikir adalah ingat atau antonimi (lawan kata) dari lupa (ar. nisyaan, ghaflah). Bisa digunakan kata dzikr, dzikra atau dzikrah dengan arti yang sama. Kata dzikir juga bisa berarti pujian atau keunggulan, mungkin karena hal itu sering diingat. Al-Quran disebutkan (Shad 38:1) {ص والقُرْآنِ ذى الذِّكْرِ} bahwa ia memiliki kemuliaan. Akar kata dzikir juga bisa dirubah menjadi tadzakkara atau iddakara yang berarti ingat setelah lupa. Dalam penjelasannya Dr. Amin Samad menyebutkan bahwa sebagian ulama memberi arti dzikir dalam Al-Quran mencapai 20 makna.

Ghaflah dan nisyaan

Dua kata yang menjadi antonimi dari kata dzikir adalah ghaflah dan nisyaan. Dua kata ini bisa berarti benar-benar lupa, atau bisa juga berarti ‘sengaja melupakan’. Kalau kata ghaflah lebih ditekankan pada lupa karena kurang perhatian sedang nisyaan lebih pada sengaja melupakan karena tidak ingin membuka mata terhadap kebenaran.

Dalam Al-Quran (al-Kahfi 18:28) Allah swt berfirman

} وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا {

Meminta Rasulullah saw untuk tetap duduk bersama orang-orang yang berdoa kepada Allah di saat pagi dan petang karena ikhlas. Beliau juga diminta untuk tidak menjauhi mereka meskipun mereka miskin dan pakaian mereka jelek serta bau hanya karena mengharap orang-orang kaya dan berpengaruh beriman. Jangan, Muhammad, jangan engkau turuti orang-orang yang telah lupa, tidak mengingat-Ku “aghfalnaa ‘an dzikrinaa”. Mereka hanya mengikuti hawa nafsunya dan urusan mereka sesungguhnya hanya sia-sia belaka.

Mufassir menjelaskan kata ghaflah di sini dengan keadaan hati yang disibukkan dengan urusan selain Allah sehingga lupa pada-Nya. Ibnu Katsir misalnya menafsirkan bahwa mereka adalah orang-orang yang disibukkan dengan dunia sehingga lupa pada ibadah. Ath-Thabari menyebutkan bahwa mereka sibuk dengan kekufuran dan menuruti hawa nafsu sehingga lupa pada Tuhan.

Kata nisyaan digunakan di Al-Quran dalam surat Thaha (20:125-126)

} قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أعمى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً * قَالَ كذلك أَتَتْكَ آياتنا فَنَسِيتَهَا وكذلك اليوم تنسى }

Allah swt menceritakan percakapan saat di akhirat kelak, ketika orang kafir dibangkitkan dalam keadaan buta padahal di dunia bisa melihat dan menanyakan hal itu pada Allah. Mereka dijawab “Begitulah keadaanmu dulu, telah datang tanda-tanda Kami padamu, tapi engkau lupakan ‘fanasitaha’. Maka hari ini engkau dilupakan pula.”

Mufassir memberikan arti nisyaan dengan keadaan tidak mau membuka hati untuk kebenaran sehingga lupa pada kebenaran itu. Ar-Razi misalnya mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah swt menjelaskan alasan mereka buta yakni sebagai balasan dari meninggalkan petunjuk-Nya dan mengingkarinya.

Mengapa perlu berdzikir

Dari ayat-ayat yang sudah disebutkan tadi setidaknya dapat diambil sedikit simpulan bahwa berdzikir penting dilakukan dan diulang-ulang karena hal itu berkaitan dengan masalah keimanan dan dampak masa depan (akhirat). Berdzikir memberi kesempatan untuk membuka diri terhadap kebenaran ilahi dan tidak dibutakan oleh kesibukan duniawi.

Dalam bahasa lain disebutkan bahwa urusan dzikir adalah urusan hati (keyakinan). Padahal hati adalah penggerak utama kehidupan manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “Dalam diri manusia ada sebuah elemen/organ yang bila ia baik maka akan baik pula seluruhnya, dan kalau rusak maka akan rusak pula semuanya. Itulah hati/jantung”. Hadits ini baik diartikan secara jasmani atau ruhani memberi petunjuk yang penting. Memang kalau jantung kita sehat, tubuh kita juga sehat. Demikian pula kalau hati sanubari kita jernih, lapang dan tulus, maka kehidupan individual dan sosial kita pun jadi sehat dan bermanfaat. Dan seperti juga kesehatan jantung itu perlu selalu dijaga, maka kesehatan hati sanubari pun perlu selalu dijaga.

Di dalam Al-Quran dapat kita temukan bahwa kehidupan emosional dan spiritual yang sehat itu didorong untuk diciptakan dengan dzikir (ar-Ra’d 13:28). {الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}, orang-orang beriman hatinya tenang dengan berdzikir pada Allah, ingat, dengan dzikir hati akan jadi tenang. Sebaliknya, mereka yang tidak mau mengingat Allah dijanjikan kehidupan yang sempit seperti dalam surat Thaha (20:124) {وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}, siapa yang ingkar untuk mengingat-Ku, maka sungguh untuknya kehidupan yang sempit dan akan Kami bangkitkan di hari kiamat dalam keadaan buta.

Berdzikir bukan berarti meninggalkan dunia, tempat dimana kita hidup. Namun menyadarkan manusia untuk menyiapkan diri bagi kehidupan masa depan yang panjang. Sudah jamak bahkan dalam kehidupan dunia kita ini untuk melakukan planning masa depan. Namun biasanya anak kecil susah untuk diajak berpikir ke sana. Hanya dengan bimbingan orangtua yang selalu mengingatkan sang anak akan masa depan maka sang anak akan sadar akan hal itu. Kata dunia sendiri artinya adalah dekat (atau kehidupan jangka pendek) sedang kata akhirat berarti yang ujung (atau kehidupan jangka panjang). Kehidupan dunia adalah untuk menanam kebaikan demi masa depan, bukan untuk kehidupan dunia itu sendiri. Dzikir atau kesadaran tentang Allah swt lah yang akan membantu hal itu. Nah dengan dzikir (kesadaran akan Allah swt) akan membantu manusia, seperti telah disebutkan sebelumnya, untuk tidak dibutakan oleh kesibukan duniawi sehingga melupakan akhirat.

Dzikir sebagai sebuah jenis ibadah

Adalah amalan dengan menggunakan lidah dan hati untuk mengingat Allah swt. Bisa dilakukan sendiri-sendiri atau dalam kelompok, bersuara keras atau lembut, bisa menggunakan jari-jari atau alat hitung seperti tasbih. Adapun lafaz-lafaznya bisa diambil dari Al-Quran, hadits, atau disusun sendiri selama tidak bertentangan dengan intisari kedua sumber tadi. Seperti dalam sebuah hadits yang dijadikan argumen oleh Ibnu Hajar dalam syarah al-Bukhari (vol.2:287 dikutip dari Fatwa Darul Ifta’ Mesir) tentang kebolehan menyusun dzikir dalam shalat dengan bentuk yang tidak diajarkan Nabi selama tidak bertentangan dengan yang diajarkan. Rifa’ah bin Rafi’ az-Zarqi ra bercerita, satu hari kita shalat di belakang Rasulullah saw. Saat bangun dari ruku’, beliau membaca { سمع الله لمن حمده }. Seorang laki-laki di belakang beliau mengucapkan { ربنا ولك الحمد، حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه }. Setelah selesai shalat, Rasulullah saw bertanya siapa yang membacanya. Orang itu mengaku. Rasulullah saw lalu bersabda, “Aku lihat tigapuluhan malaikat berebut, siapa yang mencatatnya lebih dulu”.

Dzikir dan ibadah lain

Dzikir sangat erat kaitannya dengan ibadah lain. Bahkan di dalam Al-Quran banyak jenis ibadah yang disebut juga sebagai dzikir. Hal itu karena dzikir (ingat kepada Allah swt) merupakan komponen utamanya atau merupakan tujuan utamanya. Misalnya, khutbah dan shalat Jum’at disebut sebagai dzikir dalam firman Allah { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا البَيْعَ } (Jum’ah 62:9), haji khususnya mabit di Mina { وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ } (al-Baqarah 2:203) disebut dzikir juga, demikian pula dengan shalat { فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ } (al-Baqarah 2:239).

Namun dalam ayat-ayat lain bisa kita temukan bahwa penggunaan kata dzikir dan jenis-jenis ibadah ini dipisah. Misalnya, { إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي } (Thaha 20:14) mengenai shalat atau dalam ayat { فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا } (al-Baqarah 2:200) mengenai haji. Dengan demikian terlihat bahwa tujuan atau komponen utama ibadah itu adalah dzikir.

Dzikir dan diingat Allah swt

Di dalam Al-Quran Allah berfirman { فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُون } (al-Baqarah 2:152) mengajak manusia untuk mengingat-Nya agar Allah swt memberi balasan setimpal dengan mengingat hamba-Nya tersebut. Sebagai penjelasan terhadap ayat ini Rasulullah saw menyampaikan sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah) yang isinya bahwa Allah swt akan bersama hamba-Nya apabila ia mengingat -Nya. Apabila ia mengingat Allah swt di dalam dirinya maka Allah akan mengingatnya sendiri. Apabila mengingat Allah swt di dalam sekelompok manusia, maka Allah akan menyebutnya di kelompok yang lebih mulia (malaikat). Selanjutnya kalau hamba-Nya mendekatkan diri kepada Allah swt sekecil apa pun, maka jaraknya dari Allah akan semakin dekat. Hal itu karena Allah memperpendek jarak dan waktu tempuhnya berlipat, sejengkal jadi sebahu, sebahu jadi selebar kaki, berjalan kaki jadi berlari, dst.

Sebagai penafsiran terhadap ayat tersebut, Syeikh Abdul Qadir (al-Ghunyah vol 2:43 dikutip dari Muntadayat Syamsul Ma’ani) menambahkan dengan detail penafsiran. Apabila hamba Allah swt mengingat-Nya dengan kerinduan dan kecintaan, maka Allah swt akan mengingatnya dengan membuat koneksi dan kedekatan. Mengingat-Nya dengan pengagungan dan pujian, maka Allah akan mengingatnya dengan pemberian dan reward/balasan. Mengingat-Nya dengan taubat, akan diingat dengan ampunan dosa. Mengingat-Nya dengan doa, akan diingat dengan balasan. Mengingat-Nya dengan permintaan, akan diingat dengan pemberian. Mengingat-Nya tanpa lupa, akan diingat dengan cepat. Mengingat-Nya dengan rasa sesal, akan dingat dengan kemuliaan. Mengingat-Nya dengan rasa berdosa, akan diingat dengan pemaafan. Mengingat-Nya dengan iman, akan diingat dengan sorga. Mengingat-Nya dengan hati, akan diingat dengan membuka tabirnya. Mengingat-Nya dengan kejernihan batin, akan diingat dengan kebaikan yang murni. Mengigat-Nya dengan susah payah akan diingat dengan karunia yang sempurna.

Dzikir, cinta Allah dan perilaku sosial

Salah satu tujuan utama dzikir adalah juga untuk menggapai cinta Allah, baik cintanya pada Allah swt atau cinta Allah swt padanya. Seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah swt seperti dalam hadits sebelumnya karena cinta pada Allah akan diberi jawaban dengan kecintaan Allah swt padanya. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya Allah swt apabila mencintai seorang hamba maka akan memanggil malaikat Jibril dan menyatakan bahwa ‘Aku telah mencintai si polan maka cintailah dia’. Malaikat Jibril langsung ikut mencintainya dan mengumumkan ke langit menyampaikan bahwa Allah swt telah mencintai si polan, maka cintailah dia. Demikianlah maka penduduk langit pun mencintai si polan dan dia ditempatkan agar dicintai pula oleh penduduk dunia.”

Disamping sikap-sikap yang berkaitan dengan ketulusan ibadah pada Allah, sikap-sikap sosial pun akan tampak pada seorang yang mencintai Allah swt. Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abi Yasir dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah disabdakan bahwa “Seorang yang cinta agar memperoleh payung Allah hendaklah memperhatikan orang yang kesulitan, berupaya untuk meringankan kesulitannya”. Atau dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah saw bersabda “Siapa yang cinta agar dilepaskan dari api neraka dan dimasukkan sorga maka hendaklah ia menemui ajalnya dalam keadaan beriman pada Allah dan hari kiamat serta selalu bersikap dengan orang lain seperti ia ingin agar orang lain bersikap seperti itu pula padanya”, yakni saling berbuat baik, saling menghormati dan tidak saling menyakiti. Demikian juga dengan hadits dari A’isyah, Rasulullah saw memintanya, “Wahai A’isyah jangan engkau tolak seorang miskin pun meski hanya dengan separuh/sebagian buah kurma. Wahai A’isyah cintailah orang miskin dan dekatilah mereka, maka Allah akan membuatmu dekat padanya di hari kiamat”.

Jadi kecintaan pada Allah swt akan terlihat dampaknya dalam kehidupan sosial dalam bentuk saling menghormati, selalu berupaya untuk membantu orang lain dan tidak menyakiti pihak lain. Dzikir kepada Allah swt adalah sarana penting dalam membentuk perilaku sosial tersebut.

Keutmaan Dzikir kepada Allah Swt

ABUL LAITS meriwayatkan dengan sanadnya dari Syahr bin Hausyab berkata: Luqman Al-Hakiem berkata kepada puteranya: Anakku bila kamu melihat kaum yang sedang berzikir kepada Allah, maka duduklah bersama mereka, sebab bila kamu seorang pandai maka bergunalah ilmumu dan bila kamu bodoh akan mendapat pelajaran dari mereka dan kemungkinan Allah melihat mereka dengan pandangan rahmat-Nya, maka kamu mendapat bagian daripadanya. Dan bila kamu melihat kaum yang tidak berzikir maka jangan duduk bersama mereka, sebab bila kamu seorang alim maka tidak berguna ilmumu dan bila kamu bodoh niscaya akan bertambah sesat dan mungkin Allah melihat mereka dengan murka-Nya, sehingga kamu terkena juga murka Allah SWT.

Abul Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra berkata: dari Abu Saied Al-Khudri ra berkata: Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya ada malaikat yang berkeliling di bumi, maka bila bertemu dengan kaum yang berzikir segera mereka berseru: marilah, ini tujuanmu maka duduklah mereka mengerumuni majelis itu. Kemudian jika naik ke langit ditanya oleh Allah: kamu tinggalkan hamba-Ku berbuat apa? Padahal Allah lebih mengetahui keadaan mereka. Jawab mereka: Kami tinggalkan mereka bertahmid, bertasbih dan zikir kepada-Mu. Lalu ditanya: apakah yang mereka minta? Jawab mereka: surga. Ditanya: apakah mereka telah melihatnya? Jawabnya: belum. Lalu ditanya: bagaimana andaikan mereka melihatnya? Jawab mereka: Tentu lebih semangat dan sungguh-sungguh mengharapkannya. Lalu ditanya: dan apakah mereka minta perlindungan? Jawab mereka: dari neraka. Ditanya: apakah mereka telah melihatnya? Jawabnya: tidak. Maka bagaimana andaikan mereka melihatnya? Jawab mereka: tentu lebih takut dan lari daripadanya. Maka firman Allah: hai malaikat-Ku. Aku persaksikan kepadamu bahwa Aku telah mengampunkan mereka. Maka berkata malaikat: sungguh ada di antara mereka seorang yang berdosa, dia tidak berhajat ke sana, hanya datang karena suatu kepentingan. Jawab Allah: merekalah kaum yang tidak rugi siapa yang duduk dengan mereka.

Zikir, kata penyusun buku mungil “Panduan Zikir” H Hidayatullah HT, merupakan salah satu solusi mengatasi berbagai persoalan yang kita hadapi. Sesuai firman-Nya: “Maka berzikirlah (ingatlah) kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS Al-Baqarah 152).

Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: tiada suatu kaum yang duduk di majelis zikir kepada Allah, pasti dikelilingi malaikat dan diliputi rahmat Allah dan diturunkan pada mereka ketenangan (ketentraman) dan disebut-sebut oleh Allah di depan para malaikat-Nya. (HR Muslim).

Menurut Prof Dr M Suyanto, Ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta, orang yang beriman kepada Allah, mencintai Allah, takut kepada Allah, terpaut dengan-Nya, maka orang tersebut akan banyak mengingat Allah dalam hatinya, baik mengingat Allah dengan lisan maupun anggota badannya. Hal itu didorong rasa cinta, berharap, bersandar dan bergantung kepada Allah, mengingat Allah dengan lisan dan dengan bertasbih, bertahmid, bertakbir, bertahlil, beristighfar dan berdoa.
Ibu Abbas ra dalam menafsirkan mengingat Allah, yaitu jangan lepas mengingat Allah, baik di waktu malam dan siang, di daratan atau lautan, di saat bepergian atau di rumah, dalam keadaan kaya atau miskin, waktu badan sehat atau sakit dan dalam keadaan sunyi atau banyak orang.

Orang yang mengingat Allah, jelas Suyanto, mendirikan shalat dan membayar zakat akan ditambah oleh Allah karunia dan rezekinya tanpa batas. Dengan mengingat-Nya, kita akan menjadi lebih baik. Hatinya tentram. Akan diingat Allah, disebut-Nya dan bersama Dia. Dalam hadist Qudsyi, Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT berfirman: Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku. Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya niscaya Aku juga akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu kaum niscaya Aku juga akan mengingat-Nya dalam suatu kaum yang lebih baik daripada mereka. Apabila dia mendekatiku sejengkal niscaya Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta niscaya Aku akan mendekatinya sedepa. Apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan niscaya Aku akan datang kepada-Nya berlari-lari kecil.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya dengan lupa mengingat Allah, kita akan termasuk orang yang merugi. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Munaafiquun ayat 9: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Dialog Jumat, edisi Jumat, 12 Juni 2009).

Keutmaan Dzikir kepada Allah Swt

ABUL LAITS meriwayatkan dengan sanadnya dari Syahr bin Hausyab berkata: Luqman Al-Hakiem berkata kepada puteranya: Anakku bila kamu melihat kaum yang sedang berzikir kepada Allah, maka duduklah bersama mereka, sebab bila kamu seorang pandai maka bergunalah ilmumu dan bila kamu bodoh akan mendapat pelajaran dari mereka dan kemungkinan Allah melihat mereka dengan pandangan rahmat-Nya, maka kamu mendapat bagian daripadanya. Dan bila kamu melihat kaum yang tidak berzikir maka jangan duduk bersama mereka, sebab bila kamu seorang alim maka tidak berguna ilmumu dan bila kamu bodoh niscaya akan bertambah sesat dan mungkin Allah melihat mereka dengan murka-Nya, sehingga kamu terkena juga murka Allah SWT.

Abul Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra berkata: dari Abu Saied Al-Khudri ra berkata: Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya ada malaikat yang berkeliling di bumi, maka bila bertemu dengan kaum yang berzikir segera mereka berseru: marilah, ini tujuanmu maka duduklah mereka mengerumuni majelis itu. Kemudian jika naik ke langit ditanya oleh Allah: kamu tinggalkan hamba-Ku berbuat apa? Padahal Allah lebih mengetahui keadaan mereka. Jawab mereka: Kami tinggalkan mereka bertahmid, bertasbih dan zikir kepada-Mu. Lalu ditanya: apakah yang mereka minta? Jawab mereka: surga. Ditanya: apakah mereka telah melihatnya? Jawabnya: belum. Lalu ditanya: bagaimana andaikan mereka melihatnya? Jawab mereka: Tentu lebih semangat dan sungguh-sungguh mengharapkannya. Lalu ditanya: dan apakah mereka minta perlindungan? Jawab mereka: dari neraka. Ditanya: apakah mereka telah melihatnya? Jawabnya: tidak. Maka bagaimana andaikan mereka melihatnya? Jawab mereka: tentu lebih takut dan lari daripadanya. Maka firman Allah: hai malaikat-Ku. Aku persaksikan kepadamu bahwa Aku telah mengampunkan mereka. Maka berkata malaikat: sungguh ada di antara mereka seorang yang berdosa, dia tidak berhajat ke sana, hanya datang karena suatu kepentingan. Jawab Allah: merekalah kaum yang tidak rugi siapa yang duduk dengan mereka.

Zikir, kata penyusun buku mungil “Panduan Zikir” H Hidayatullah HT, merupakan salah satu solusi mengatasi berbagai persoalan yang kita hadapi. Sesuai firman-Nya: “Maka berzikirlah (ingatlah) kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS Al-Baqarah 152).

Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: tiada suatu kaum yang duduk di majelis zikir kepada Allah, pasti dikelilingi malaikat dan diliputi rahmat Allah dan diturunkan pada mereka ketenangan (ketentraman) dan disebut-sebut oleh Allah di depan para malaikat-Nya. (HR Muslim).

Menurut Prof Dr M Suyanto, Ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta, orang yang beriman kepada Allah, mencintai Allah, takut kepada Allah, terpaut dengan-Nya, maka orang tersebut akan banyak mengingat Allah dalam hatinya, baik mengingat Allah dengan lisan maupun anggota badannya. Hal itu didorong rasa cinta, berharap, bersandar dan bergantung kepada Allah, mengingat Allah dengan lisan dan dengan bertasbih, bertahmid, bertakbir, bertahlil, beristighfar dan berdoa.
Ibu Abbas ra dalam menafsirkan mengingat Allah, yaitu jangan lepas mengingat Allah, baik di waktu malam dan siang, di daratan atau lautan, di saat bepergian atau di rumah, dalam keadaan kaya atau miskin, waktu badan sehat atau sakit dan dalam keadaan sunyi atau banyak orang.

Orang yang mengingat Allah, jelas Suyanto, mendirikan shalat dan membayar zakat akan ditambah oleh Allah karunia dan rezekinya tanpa batas. Dengan mengingat-Nya, kita akan menjadi lebih baik. Hatinya tentram. Akan diingat Allah, disebut-Nya dan bersama Dia. Dalam hadist Qudsyi, Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT berfirman: Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku. Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya niscaya Aku juga akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu kaum niscaya Aku juga akan mengingat-Nya dalam suatu kaum yang lebih baik daripada mereka. Apabila dia mendekatiku sejengkal niscaya Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta niscaya Aku akan mendekatinya sedepa. Apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan niscaya Aku akan datang kepada-Nya berlari-lari kecil.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sebaliknya dengan lupa mengingat Allah, kita akan termasuk orang yang merugi. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Munaafiquun ayat 9: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Dialog Jumat, edisi Jumat, 12 Juni 2009).

Mengenal Awalnya Diri

Satuhal yang menjadi renungan bagi saya pagi ini adalah tentang bagaimana Allah menciptakan saya. Sejenak saya coba merenung dan mencoba menerawang jauh ke belakang bahwasanya Allah SWT yang Maha Pencipta sudah menciptakan manusia pertama Adam dari tanah dengan ucapan Kun dan Fayakun (terjadi maka terjadilah).

Kisah Adam ini menjadi pemahaman saya dari semenjak kecil, saya masih ingat waktu itu guru mengaji saya mengisahkan tentang kisah Adam ini. Padahal sebelumnya pada masa anak-anak, sebagaimana anak-anak lainnya, saya sering bertanya kepada orang tua saya, dari mana saya berasal, dari mana ibu dan ayah berasal, dari mana pula kakek-nenek berasal. Selanjutnya…. dan selanjutnya dari mana pula makhluk yang berkembang biak sampai sekarang, alam dan semuanya yang ada di bumi ini berasal.

Ketika orang tua saya menjawab pertanyaan saya, bahwa semuanya adalah Allah SWT yang menciptakan. Saya yakin dengan kekuasaanNya yang begitu besar, Allah SWT Maha Pencipta dan Mahakuasa. Menurut saya fakta ini tak terbantahkan.

Ketika saya membuka Al Quran saya temukan kalam Allah seperti berikut:

“Dialah yang menciptakan segalanya dengan sebaik-baiknya, Dia mulai menciptakan manusia dari tanah liat. Kemudian Ia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina.” (Al Qur’an, 32:7-8)

Berdasarkan ayat tersebut saya ingat pelajaran Biologi semasa di SMP, bahwa makhluk hidup berevolusi seiring dengan perjalanan waktu dan manusia sekarang merupakan evolusi dari ‘binatang berupa monyet’, demikian teori Darwin. Sungguh ketika merenungkan Ayat Al Qur’an, 32:7-8, itu ternyata teori Darwin merupakan teori sekuler yang menafikan peran Tuhan dalam penciptaan. Dan karena itu saya berselindung kepada Allah SWT dari pemahaman sesat itu.

Dari cerita Adam, saya ingat pula Siti Hawa, Nabi Isa As, dan kita semua. Subhanallah, ternyata Allah SWT telah menciptakan manusia dengan 4 cara; Pertama, menciptakan manusia tanpa bapak dan ibu yakninya Adam a.s. Kedua, menciptakan manusia dari bapak saja yakninya Siti Hawa. Ketiga, menciptakan manusian dari ibu saja, Isa A.s dan Keempat, menciptakan manusia dari bapak dan ibu, yakninya kita semua.

Selanjutnya saya terus mencoba melakukan pencarian dalam Al Quran tentang bagaimana proses penciptaan saya. Ternyata Allah SWT menggambarkannya dengan sangat jelas.

”Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (Al Qur’an, 23:14).

Sungguh begitu durhakanya saya ini, ketika Allah SWT telah menciptakan sebaik-baiknya saya, tapi terkadang saya melupakan atau lalai dari mengingat-Nya. Seharusnya saya bersyukur dan menyadari sedalam-dalamnya tentang proses dan sebab akibat kejadian saya ini. Bahwasanya diri saya ini hadir ke dunia dari tetes air yang hina yang notabenenya adalah sari pati tanah juga, tidak membawa suatu apapun ke dunia ini.

Saya pun melanjutkan perenungan, setelah saya dihidupkan lalu bagaimana pula nanti? Yaitu Mati. Sebagaimana ada awal dan ada pula akhir. Sebagaimana cerita yang pernah saya dengar dari semenjak kecil, bahwa setelah Allah SWT mematikan kita, akan ada lagi kehidupan. Artinya Allah membangkitkan saya setelah saya mati? Bukankah saya sudah hancur dan menjadi tulang belulang di dalam tanah?

Ketika saya renungkan, tidak ada yang patut dipertanyakan. Karena bagi Allah SWT itu sangatlah mudah. Bukankah Allah SWT telah melihatkan bagaimana 4 proses penciptaan seperti yang saya tuliskan dalam paragraf sebelumnya. Allah SWT sangat mudah menciptakan Adam tanpa ada bapak dan ibu, Allah SWT sangat mudah menciptakan Siti Hawa hanya dari tulang rusuk Adam, Allah juga sangat mudah menciptakan Isa A.s hanya dengan adanya Ibu saja, Allah pun sangat mudah menciptakan saya dengan adanya ibu dan bapak saya.

Terus kenapa saya harus ragu kalau Allah SWT nanti mampu membangkitkan saya setelah tulang belulang saya hancur dalam tanah?

Kembali perenungan ini saya gali dari Al Quran, Subhanallah, ternyata Allah SWT benar-benar menunjukan kekuasaanNya. “Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung jari-jarinya dengan sempurna.” (Al Qur’an, 75:3-4)

Nah, atas fakta ini, saya yakin dan sungguh yakin bahwasanya bagi Allah SWT sangatlah mudah.

Lalu, kembali kepada diri saya, tidak ada lagi yang harus saya sombongkan, Allah SWt adalah segala-galanya. Saya bertekad untuk berusaha semampu saya untuk menyembahNya. Sesuai dengan iman dan Islam saya.

Lalu saya pun bertanya pada diri saya, bagaimana menyembah Allah SWT yang telah menciptakan saya dan telah menentukan hidup dan mati serta yang akan membangkitkan saya setelah mati nanti?

Bagaimana caranya yaa? Setelah merenung dan membuka beberapa referensi buku tentang bagaimana cara makhluk berkomunikasi dengan Allah SWT, saya pun akhirnya menemukan jawaban. Cara menyembah dan berkomunikasi dengan Allah SWT Sang Pencipta adalah mengikuti Sunnah Rasulullah Muhammad SAW.

Kenapa? Karena inilah menurut saya, hikmah Allah SWT mengangkat seorang Rasul ke permukaan Bumi untuk mengajarkan cara beribadah dan menyembah kepada Allah SWT. Menurut saya hanya Rasul-lah yang paling tahu cara yang benar menyembah Allah SWT, karena ia langsung dituntun oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril yang diutus oleh Allah SWT.

Menurut pemahaman ini, saya berkesimpulan dalam kehidupan ini, selayaknya saya harus mengikuti sunnah Rasulullah SAW, karena dengan mengikuti jejaknya-lah saya berbuat benar dalam berkomunikasi dan beribadah kepada Allah SWT, sesuai yang diinginkan Allah SWT yang sesungguh.

Masih dalam Al Quran Allah SWT berfiman: “Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah SWT, ikutilah aku, niscaya Allah SWT mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Quran 3:31).

Saya berlindung kepada Allah SWT dari perbuatan ibadah dan komunikasi dengan Allah SWT yang hanya berdasarkan akal dan hawa nafsu saya atau bi’dah mengada-ada dalam beribadah. Sungguh saya akan mencoba mengikuti yang dicontohkan oleh Muhammad SAW.

Salah satu contoh Rasulullah untuk beribadah kepadanya adalah dengan cara berdoa. Setelah saya membaca hadistnya ternyata Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Doa itu bermanfaat untuk apa yang sudah terjadi dan apa yang belum terjadi. Oleh karena itu hendaknya kalian, hai hamba-hamba Allah berdoalah. (HR Al-Hakim)

Bahkan Allah pun mememerintahkan supaya berdoa, dan mengikuti perintah Allah SWT dan yakin kepadaNya secara bulat, supaya kita selalu berada dalam jalan yang benar.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Al Qur’an, 75 :186)

Berdasarkan renungan ini, sudah selayaknya saya menyadari sesungguhnya saya berasal dari Allah SWT dan dikembalikan kepada-Nya. Apabila saya dalam hidup ini mengalami sakit jasmani, rohani, ditimpakan kesusahaan dan maupun masalah apapun, sudah sewajarnya saya meminta solusi atau pertolongan Allah SWT melalui doa-doa. Karena begitulah cara yang diajarkan oleh Muhammad SAW sebagai Rasulnya dan bahkan diperintahkan Allah SWT.

Jadi tak ada lagi yang harus saya sombongkan, ketika saya diberikan kelebihan oleh Allah SWT di dunia meski saya dapatkan dari usaha banting tulang dan peras keringat. Karena akhirnya toh saya akan kembali kepada Allah SWT tanpa membawa apa-apa kecuali amal baik dan buruk yang saya lakukan sekarang. Subhanallah,. Astagfirullah wa syukrillah. Wallahu ‘alam bisawab.

Sabtu, 02 Januari 2010

MEMBEDAKAN ANTARA KETEGASAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

Pembicaraan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi topik yang belakangan hangat dibicarakan. Media massa, lembaga swadaya masyarakat khususnya yang mengusung isu gender, lembaga bantuan hukum dan lembaga peradilan begitu tersibukkan dengan topik yang sebenarnya lama ini. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan sebuah undang–undang khusus Antikekerasan dalam Rumah Tangga.

Pembicaraan tentang KDRT yang terjadi di masyarakat kadang mengandung kebenaran. Tapi tidak jarang pembicaraan tersebut bermuatan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang luhur. Isu KDRT tidak jauh dari induk semangnya, yaitu isu hak asasi manusia (HAM) yang dikomentari oleh Mufti Kerajaan Saudi Arabia Syaikh 'Abdul-Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh -hafizhahullah- dengan mengatakan: "Sesungguhnya isu tentang HAM di berbagai belahan dunia pada zaman ini adalah kalimat haq urida biha bathil (kalimat yang benar, tapi dimaksudkan untuk hal yang salah)''.

Yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah kembali kepada petunjuk yang telah digariskan oleh Islam dalam setiap aspek kehidupan. Islam dengan kesempurnaannya tidak melalaikan aspek ini. Kedudukan antara suami, isteri dan anggota keluarga yang lain telah dijelaskan dalam agama kita. Demikian juga dengan hak dan kewajiban serta aturan-aturan yang harus diikuti oleh masing-masing.

Tulisan ini berusaha mendudukkan masalah KDRT pada tempatnya, dengan merujuk kepada Al-Qur`aan dan as-Sunnah dan penjelasan para ulama. Pada hakikatnya, pembicaraan tentang KDRT mencakup hubungan suami dengan isteri, orang tua dengan anak, dan majikan dengan dengan pekerja. Namun tulisan ini hanya akan menyoroti yang pertama saja, yaitu berkenaan hubungan antara suami dengan isteri.

Ketegasan kadang mengandung unsur kekerasan. Dalam batas-batas tertentu, unsur kekerasan tersebut dibolehkan secara syar'i. Dalam tulisan ini, ketegasan yang dimaksud, yaitu sikap tegas yang dalam Islam boleh dilakukan untuk mengatur kehidupan rumah tangga, meskipun kadang mengandung unsur kekerasan. Adapun KDRT dimaksudkan sebagai hal-hal yang secara syar'i dilarang dilakukan untuk keperluan tersebut.

KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM KELUARGA
Islam menjadikan suami sebagai kepala keluarga. Allah Ta'ala berfirman:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka" [an-Nisâ`/4:34]

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Alusi berkata: "Tugas mereka (para suami) adalah mengurus para isteri sebagaimana penguasa mengurus rakyat dengan perintah, larangan dan sebagainya".[1]

Sedangkan al-Qurthubi berkata: "قََوَّام adalah wazan فَعَّال –yang dipakai untuk mubalaghah (memberi makna lebih)- dari ) القيام على الشيءmengurusi sesuatu), dan menguasai sendiri (istibdad) urusannya, serta memiliki hak menentukan dalam menjaganya. Maka kedudukan suami dari isterinya ialah sampai pada batasan ini, yaitu mengurusnya, mendidiknya, berhak menahannya di rumah, melarangnya keluar, dan isteri wajib taat serta menerima perintahnya selama itu bukan maksiyat".[2]

HAK DAN TUGAS SUAMI DALAM RUMAH TANGGA
Islam telah menjelaskan hak masing-masing suami dan isteri. Syariat Islam memberikan suami hak yang besar atas isterinya. Sampai-sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ.

"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka" [HR Abu Dawud, 2142. At-Tirmidzi, 1192; dan Ibnu Majah 1925. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa`ul-Ghalil, 7/54]

Demikianlah Islam mendudukkan, dan inilah jalan kebahagiaan. Sebuah keluarga akan bahagia jika memahami dan mengikuti petunjuk ini. Pasangan yang serasi ialah pasangan yang membangun hubungan mereka di atas pilar ini. Sebaliknya, emansipasi yang banyak diserukan banyak kalangan pada zaman ini hanyalah fatamorgana yang seakan indah di mata, namun pahit dirasa; karena menyelisihi sunnah yang telah diatur oleh Sang Pencipta.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas hak-hak suami secara panjang lebar. Namun kiranya perlu disebut beberapa contoh untuk menggambarkan besarnya hak tersebut, sehingga kita bisa mengukur hal-hal apa saja yang bisa dikategorikan sebagai KDRT.

Di antara hak suami, yaitu wajibnya isteri untuk menaatinya, termasuk ketika suami mengajak berhubungan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

"Jika seorang suami mengajak isterinya berhubungan dan isteri menolak, lalu suami marah kepadanya sepanjang malam, para malaikat melaknat isteri itu sampai pagi" [HR al-Bukhâri, 5193, dan Muslim, 1436]

Hadits ini menunjukkan, menolak ajakan suami untuk berhubungan tanpa udzur merupakan dosa besar. Hingga seorang isteri tidak boleh berpuasa sunat saat suaminya ada, tanpa seijin suami. Juga tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah tanpa ijin suami, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه

"Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa[3], sedangkan suaminya hadir, kecuali dengan ijinnya. Dan ia tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya"[4] [HR al-Bukhâri, 5195, dan Muslim, 1026]

Tentunya hak-hak di atas tidak dapat diwujudkan tanpa tugas dan kewajiban setiap pasangan suami istri. Khususnya suami yang berkedudukan sebagai kepala rumah tangga yang memimpin lajunya bahtera rumah tangga. Di antara tugas terpenting suami, ialah membimbing istri dan keluarganya meraih keridhaan Allah dengan menerapkan syariat dalam semua aspek kehidupan keluarga. Membimbing dan mengarahkan sang istri untuk berjalan lurus di atas syari'at, meluruskan kesalahan dan nusyuz (sikap melanggar kewajiban) yang mungkin terjadi padanya
.
Tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan suatu rumah tangga terkadang muncul polemik dan problem yang muncul dari istri atau suami sendiri. Disinilah peran dan tugas suami dalam menanggulangi dan mengobatinya sehingga tidak membuat rumah tangganya pecah berantakan. Kedewasaan dan kepiawaian suami dalam menghadapinya memberikan pengaruh dalam kesinambungan dan keutuhan rumah tangga tersebut. Terkadang kelembutan menjadi solusi pemecahannya, dan terkadang juga diperlukan ketegasan maupun sedikit hukuman dalam menghilangkannya atau mengurangi bahaya yang mungkin muncul dari problem tersebut. Disinilah sang suami harus mengetahui batas kelembutan dan ketegasan dalam mengahadapi problem hubungan rumah tangga.

PENTINGNYA KETEGASAN SUAMI
Di atas telah dibahas tentang kedudukan suami dalam rumah tangga dan tugasnya. Tentunya hal seperti ini memerlukan ketegasan, agar kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik, sebagaimana seorang penguasa harus memiliki ketegasan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Tanpa ketegasan, bisa jadi anggota keluarga akan meremehkan aturan-aturan dan norma dalam keluarga. Kehidupan rumah tangga menjadi tidak teratur, sehingga hilanglah hikmah yang dimaksudkan dari disyariatkannya kepemimpinan dalam keluarga. Keberadaan suami dan bapak menjadi tidak ada artinya. Dengan demikian, tidak terwujudkan tanggung jawab yang diamanatkan sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ - قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ - وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Setiap dari kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggungjawabnya. Penguasa adalah penanggung jawab atas rakyatnya, dan akan ditanya tentangnya. Suami menjadi penanggung jawab dalam keluarganya, dan akan ditanya tentangnya. Isteri adalah penanggung jawab di rumah suaminya, dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Pembantu bertanggung jawab atas harta tuannya dan akan ditanya tentangnya," (Ibnu Umar berkata: dan saya kira Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata): "Dan anak adalah penanggung jawab atas harta bapaknya dan akan ditanya tentangnya, dan setiap kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggung jawabnya". [HR al-Bukhâri, 893, dan Muslim, 4828]

Hendaklah setiap muslim merenungkan hadits ini dan mengamalkannya dengan bertanggung jawab atas setiap amanat yang diemban, dan menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Allah pada hari saat harta dan keturunan tiada lagi berguna. Allahumma sallim sallim.

BENTUK KETEGASAN SUAMI
Ketegasan yang dilakukan suami dan kepala keluarga harus melihat kepada manfaat dan permasalahan yang terjadi. Juga jangan sampai berlebihan, sehingga justru berbuah kekerasan. Jadikanlah ketegasan tersebut sebagai obat dalam mencegah munculnya nusyuz dan pelanggaran syari'at dalam rumah tangga. Jangan sampai suami membiarkan istri berbuat pelanggaran agama hanya dengan dalih khawatir melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebab membiarkan istri berbuat maksiat tanpa ada teguran dan tindakan terapinya merupakan perbuatan tercela dan diancam Allah dengan siksaan yang berat. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ

"Tiga orang yang Allah tidak melihat mereka pada hari Kiamat, (yaitu) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai lelaki (tomboy) dan ad-dayûts" [HR an-Nasâ`i, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah, 2/229].

Tentang ad-dayyûts ini, telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau ditanya:

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا مُدْمِنُ الْخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَمَا الدَّيُّوْثُ قَالَ الَّذِيْ لاَ يُبَالِيْ مَنْ دَخَلَ عَلَى أَهْلِهِ

"Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, adapun pecandu khamr, kami telah mengerti. Akan tetapi apa yang dimaksud ad-dayûts itu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Dia ialah (laki-laki) yang tidak memperdulikan siapa yang menemui istrinya". [HR ath-Thabrani dan dishahîhkan Syaikh al-Albaani dalam Shahîh at-Targhib wat-Tarhib, no. 2071 (2/227)]

Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَ الدَّيُّوْثُ الَّذِيْ يُقِرُّ فِيْ أَهْلِهِ الْخَبَثَ .

"Dan ad-dayûts, ialah yang membiarkan kemaksiatan dalam keluarganya". [HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jami' ash-Shaghir, no. 5363]

Melarang istri dari perbuatan dosa dan maksiat termasuk ketegasan suami dan bukan termasuk KDRT, walaupun terkadang nampak mengekang kebebasan istri. Demikian juga termasuk ketegasan suami ialah menghukum istri bila melanggar.

BILAMANA SUAMI MENGHUKUM ISTERI?
Secara faktual, sangat jarang bahkan mungkin tidak ada; sebuah keluarga berjalan tanpa adanya percikan problem atau permasalahan. Oleh karena itu, kita dituntut untuk siap menghadapi berbagai guncangan yang timbul. Tak jarang istri melakukan pelanggaran, sehingga membuat sang suami merasa tidak nyaman, gelisah atau marah. Disinilah Allah menjelaskan bolehnya suami menghukum istri, sebagaimana dalam firman-Nya:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" [an-Nisâ`/4:34]

Al-Alûsi berkata: "Ayat di atas dipakai untuk berdalil bahwasanya seorang suami boleh menghukum isteri dan melarangnya keluar rumah, dan bahwasanya seorang isteri wajib taat kepadanya kecuali jika (suami) memerintahnya berbuat maksiat kepada Allah".

Hukuman itu bisa berupa mendiamkannya atau memukulnya dalam batas-batas yang telah diatur Islam. Hal ini dimaksudkan agar isteri kembali kepada jalan yang benar, sebagaimana sebagian rakyat juga tidak menjadi baik kecuali jika hukuman diterapkan.

SALING MENASIHATI, DAN MEMULAI DENGAN HUKUMAN YANG PALING RINGAN
Terjadinya kesalahan merupakan hal yang lumrah terjadi pada anak Adam, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun yang lain. Untuk itu Islam mengajarkan umatnya untuk saling mengingatkan, saling menasihati dan amar ma'ruf nahi munkar.

Saling menasihati sebagai perwujudan bukti cinta yang hakiki. Karenanya orang-orang terdekat ialah yang paling berhak mendapatkannya. Sebuah keluarga muslim harus membiasakan diri dengan sunnah ini.

Jika isteri salah dengan tidak taat kepada suami misalnya, suami diperintahkan untuk menasihatinya terlebih dahulu. Allah Ta'ala berfirman:

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz, maka nasihatilah mereka, diamkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" [an-Nisâ`/4:34]

Nusyuz ialah meninggalkan ketaatan kepada suami atau menentangnya, baik dengan perkataan maupun perbuatan[5]. Syaikh Abdur-Rahman as-Sa'di berkata: "Hendaklah ia menghukumnya dengan hukuman yang paling ringan dahulu, dimulai dengan menasihatinya, yaitu dengan menjelaskan hukum Allah tentang ketaatan-ketaatan kepada suami, juga hukum menentangnya, menyemangatinya untuk taat, dan menakutinya dari maksiat".[6]

MENDIAMKAN ISTERI
Jika isteri kembali kepada ketaatan dengan nasihat saja, maka itulah yang diharapkan, wal-hamdulillah. Jika tidak, suami dibolehkan untuk mendiamkan (hajr) isterinya seperti diperintahkan dalam ayat di atas. Bagi sebagian wanita, model hajr seperti ini bisa sangat tepat untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan. Mereka merasa sangat terpukul saat didiamkan suami dan tidak diajak berhubungan. Namun sebaiknya hal tersebut dilakukan di dalam rumah saja, sebagaimana disebutkan dalam hadits Hakam bin Mu'awiyah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ولا يهجُرْ إلا في البيت

"Hendaknya suami tidak mendiamkan isterinya kecuali di rumah". [HR Abu Daawud, an-Nasaa`i dan Ibnu Maajah. Dishahîhkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh al-Albâni].

Maksudnya, ialah mendiamkannya, tetapi keduanya tetap satu rumah; suami tidak meninggalkan rumah atau mengusir isterinya ke rumah lain.

Dikisahkan, saat marah kepada salah satu isterinya yang kebetulan mendapat giliran bermalam (mabit), 'Umar bin 'Abdul-'Aziz, tetap bermalam di rumahnya, tetapi ia tidak berbicara dengan isterinya dan tidak menatapnya[7]. Hal ini karena mendiamkan isteri dengan keluar rumah sangat menyakitkan. Seorang isteri bisa merasa sangat sedih ketika ditinggal suaminya untuk suatu keperluan, apalagi jika hal itu dilakukan sebagai hukuman[8]. Kecuali jika diperlukan, boleh bagi suami untuk mendiamkan isterinya dengan keluar rumah, sebagaimana dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-Bukhaari berkata:

باب هِجْرَةِ النَّبِىِّ n نِسَاءَهُ فِى غَيْرِ بُيُوتِهِنَّ. ثم روى عن أم سلمة أَنَّ النَّبِىَّ n حَلَفَ لاَ يَدْخُلُ عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ شَهْرًا.

"Bab bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendiamkan para isteri beliau di luar rumah," kemudian al-Bukhâri meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak masuk ke rumah sebagian isteri beliau selama sebulan". [Shahîh al-Bukhâri, 5202. Lihat al-Maktabah asy-Syamilah]

Suami hendaklah mempertimbangkan dengan matang bentuk dan waktu hajr yang dilakukan dengan melihat besar kecilnya kesalahan, kebutuhan dan manfaat yang diharapkan dari hajr tersebut.

BATASAN MEMUKUL ISTERI
Ayat 34 surat an-Nisâ` di atas menjelaskan bolehnya seorang suami memukul isterinya jika diperlukan. Ummu Kultsum binti Abu Bakr ash-Shiddiq meriwayatkan:

كَانَ الرِّجَالُ نُهُوا عَنْ ضَرْبِ النِّسَاءِ ثُمَّ شَكُوهُنَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ n فَخَلَّى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ضَرْبِهِنَّ

"Awalnya para suami dilarang untuk memukul para isteri. Kemudian mereka melaporkan isteri-isteri mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau membolehkan memukul mereka".[HR al-Baihaqi, 7/304]

Maksudnya, ialah pukulan yang ringan. Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Bukhaari mengatakan, maksudnya ialah pukulan yang ghairu mubarrih (tidak melukai).

Kemudian al-Bukhâri meriwayatkan dari 'Abdullah bin Zam'ah, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ

"Janganlah seorang di antara kalian mencambuk isterinya sebagaimana mencambuk budak, kemudian berhubungan dengannya di akhir hari" [Shahîh al-Bukhâri, 5204. Lihat al-Maktabah asy-Syamilah]

Hendaklah pukulan juga tidak dilakukan di wajah. Dalam hadits tentang hak-hak isteri atas suami, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ولا يَضرِبِ الوَجْهَ ، وَلاَ يُقبِّحْ

"Janganlah suami memukul wajah, dan jangan mengatakan qabbahakillah (semoga Allah menjadikanmu jelek)" [HR Abu Dawud, an-Nasâi dan Ibnu Majah, dishahîhkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh al-Albâni]

CONTOH-CONTOH KDRT
Dari sini jelas dapat dibedakan antara ketegasan dan hukuman dengan KDRT, sebab KDRT merupakan tindakan yang berlebihan dari ukuran dan ketetapan syari'at. Oleh karena itu hendaklah dilihat kembali semua kasus KDRT yang ada, menimbangknya dengan syari'at Islam yang memiliki kelengkapan dan keindahan, sehingga tidak salah dalam memutuskan dan menyimpulkannya. Terlebih pada zaman jauhnya kaum muslimin dari agamanya dan isu-isu kesamaan gender sedang dipropagandakan pada semua sendi untuk semakin menjauhkan kaum muslimin dari agamanya.

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan beberapa contoh yang bisa dikategorikan sebagai KDRT, antara lain:

1. Menjadikan pukulan atau hajr sebagai jalan pertama dalam menyelesaikan masalah rumah tangga.
2. Mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, seperti qabbahakillah (semoga Allah menjadikanmu jelek).
3. Mendiamkan isteri di luar rumah tanpa keperluan.
4. Memukul wajah.
5. Memukul di luar batas kewajaran.

Ingatlah syari'at islam tidak membolehkan dan tidak mensyariatkan kecuali untuk kebaikan manusia seluruhnya, dan tidak melarang kecuali perkara yang merusak dan mengganggu manusia. Karena itu, marilah kembali merujuk kepada Islam dalam melihat dan mengamalkan semua amalan keseharian kita. Sebagai penutup kita perlu memperhatikan dua hal dibawah ini.

Pertama, Sabar Menghadapi Isteri.
Bahtera rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik jika pasangan suami isteri tidak memiliki kesabaran di antara mereka. Hal ini juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" [an-Nisâ`/4:19].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

"Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perangainya, tentu ia suka perangai yang lainnya" [Muslim, 2672]

Tidak semestinya suami menjadikan setiap kesalahan istri sebagai sebab untuk melampiaskan amarah. Hendaklah kita mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang oleh isteri beliau, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha disifati sebagai berikut:

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sama sekali tidak pernah memukul sesuatu dengan tangan beliau, tidak juga pernah memukul wanita atau pembantu, kecuali dalam jihad fi sabilillah. Dan tidaklah beliau pernah disakiti kemudian membalas dendam; tetapi jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau membalas karena Allah" [HR Muslim, 2328]

Al-Alusi rahimahullah berkata: "Dan jelas, bahwasanya menahan diri dan sabar terhadap isteri lebih baik daripada memukul mereka, kecuali jika ada alasan yang kuat".[9]

Kedua, Islam Menghormati dan Memuliakan Wanita.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Islam melarang KDRT, kecuali jika diperlukan untuk mewujudkan maslahat yang lebih besar, dan dengan batasan-batasan yang ketat. Hal seperti ini, kita istilahkan dengan ketegasan. Islam memberikan kedudukan sangat mulia kepada wanita. Banyak hal yang menunjukkan penghormatan tersebut.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan orang yang paling baik dalam umat ini ialah yang paling baik memperlakukan isterinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

"Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya; dan orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap isteri mereka" [HR at-Tirmidzi, 1195. Dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, 284]

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ

"Dan orang-orang terbaik di antara kalian tidak akan memukul" [HR al-Baihaqi, 7/304]

Salah seorang rawi hadits ini mengatakan:

وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَيْرَهُمْ كَانَ لاَ يَضْرِبُ

"Dan Rasulullah adalah yang terbaik di antara mereka, beliau tidak memukul". [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 5/223]

Hadits-hadits ini hendaklah menjadi pendorong munculnya rasa takut pada diri seorang muslim. Komitmen sebagian muslimin terhadap pokok-pokok ajaran Ahlus-Sunnah terkadang tidak diiringi dengan akhlak yang baik, termasuk kepada keluarga, khususnya isteri. KDRT masih sering terdengar dari rumah kita. Padahal Nabi n menjadikan hal ini sebagai parameter kedudukan kita di sisi Allah. Yang tidak berakhlak baik kepada isteri bukanlah golongan terbaik dalam umat ini.

Semoga Allah mengilhami kita untuk terus memperbaiki diri. Wallahu a'lam.

Magnet Cinta Allah

ISLAM adalah agama yang hakiki dan realiti, bukannya agama khayalan atau melawan arus fitrah insan. Oleh yang demikian, Islam tidak menafikan terdapat di sana perkara-perkara yang dikasihi, disukai dan dicintai oleh manusia karena ia memang merupakan kecenderungan dan fitrah setiap insan.

Maka seorang manusia itu akan mengasihi keluarga, harta dan tempat kediamannya. Namun, tidak sepatutnya terdapat sesuatu di dunia dan akhirat lebih dikasihi daripada kecintaan terhadap Allah dan Rasul. Jika berlaku sedemikian, maka dia adalah orang yang kurang imannya dan wajib dia berusaha untuk menyempurnakan keimanannya. Allah SWT telah berfirman yang bermaksud:

Orang-orang yang beriman itu sangat kuat kecintaannya kepada Allah. (al- Baqarah: 165)

Dunia hari ini menyaksikan umat Islam tidak lagi menjulang cinta kepada Allah sebagai cinta yang utama, tidak lagi mau bermujahadah mengejar cinta Khaliqnya. Sebaliknya, sentiasa bersemangat dan memperjuangkan cinta kepada dunia dan hamba-hamba dunia.

Sepanjang waktu sang kekasih berusaha mengenali hati kekasihnya tetapi tidak pernah sesaat sang hamba berusaha mengenali Khaliq dan kekasihnya yang sepatutnya menjadi cinta awal dan akhirnya.

Menyebut cinta kepada Allah atau menyebut nama Allah terasa tawar dan hambar, tetapi menyebut cinta kepada manusia terasa sungguh bahagia dan menyeronokkan. Kenapa tragedi ini boleh berlaku, sedangkan Allah itu bersifat Maha Sempurna, manakala manusia bersifat dengan segala kekurangan.

Mencintai Allah tidak akan pernah ada arti kecewa atau dikhianati. Allah memiliki puncak segala kecantikan, keagungan dan kebaikan. Cinta kepada-Nya pasti dibalas dengan pelbagai curahan nikmat dan rahsia yang seni.

Pendek kata, akal yang singkat turut mengatakan, Allah paling layak dicintai karena Dia memiliki segala ciri-ciri yang diingini oleh seorang kekasih.

Perkara paling pantas untuk menarik seseorang mencintai Allah ialah dengan merenung kemuliaan dan kemurahan Allah yang sentiasa mencurahkan segala nikmat-Nya pada setiap masa dan ketika, pada setiap hembusan nafas dan degupan jantung.

Allah berfirman sebagai mengingatkan hamba-hambaNya dengan nikmat-nikmat ini:

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah (yang dilimpahkanNya kepada kamu), tiadalah kamu akan dapat menghitungnya satu persatu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (al-Nahl: 18).

Hanya dengan merenung sejenak, kita akan mendapati bahwa Allah adalah paling layak bagi setiap cinta dan pujian. Dia lebih utama untuk bertakhta di jiwa setiap insan daripada kecintaan kepada kedua ibu bapa, anak-anak dan diri sendiri yang berada di antara dua rongga.

Setiap hari, kita memerlukan Allah untuk hidup dan menikmati segala kejadian-Nya; cahaya yang terang, nikmat siang dan malam dan sebagainya. Namun, kenapa masih tidak terkesan di hati kita menyaksikan limpahan nikmat dan ihsan-Nya, kekuasaan-Nya yang menghairankan orang-orang yang melihatnya, keagungan-Nya yang tidak mampu diungkapkan oleh orang-orang yang mencoba mengungkapkannya, dan segala sifat keindahan dan kesempurnaan-Nya?

Punca bagi segala permasalahan ini ialah butanya mata hati, ceteknya tauhid dan pengetahuan manusia tentang Allah. Tidak mungkin seseorang itu mengasihi sesuatu jika dia tidak mengenalinya. Cinta hanya akan datang setelah didahului dengan pengenalan.

Pada hari ini, manusia lebih mengenali dunia daripada Pencipta dunia. Oleh kerana itu, hati mereka gersang dari cinta Ilahi, cinta yang hakiki. Kejadian Tuhan terlalu dicintai tetapi Pemiliknya yang mutlak dilupai sehingga segala suruhan dan larangan-Nya tidak dipeduli.

Agama Tuhan hendak ditegakkan tetapi Tuhan Pemilik agama itu tidak dipasak di dalam hati. Tauhid tidak dihayati, maka bagaimana tuhan hendak dikenali, apatah lagi dicintai.

Kecintaan kepada Allah adalah suatu kedudukan yang istimewa. Allah mengangkat kedudukan hamba yang mencintai-Nya kepada setinggi-tinggi derajat. Bagi manusia yang mengutamakan kecintaan kepada selain Allah, Allah meletakkannya di kedudukan yang hina; menjadi hamba kepada dunia sepanjang hayatnya.

Tanda cinta kepada Allah

Banyak manusia yang mengaku mencintai Allah tetapi kebanyakan kata-kata mereka tidak melepasi kerongkong-kerongkong mereka. Cinta itu ada tandanya untuk dikenal pasti yang manakah cinta palsu dan yang manakah cinta yang hakiki.

Ketahuilah cinta itu seperti magnet yang akan menarik kekasih kepada kekasihnya. Orang yang mencintai seseorang akan suka bertemu dengan kekasihnya. Orang yang kasihkan Allah tidak merasa berat untuk bermusafir dari tanah airnya untuk tinggal bersama Kekasihnya menikmati nikmat pertemuan denganNya.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesiapa yang suka bertemu Allah, maka Allah suka bertemu dengannya.” Sebahagian salaf berkata: “Tidak ada suatu perkara yang lebih disukai Allah pada seseorang hamba selepas hamba tersebut suka untuk bertemu dengan-Nya daripada banyak sujud kepada-Nya, maka dia mendahulukan kesukaannya bertemu Allah dengan memperbanyakkan sujud kepada-Nya.”

Sufyan al Thauri dan Bisyr al Hafi berkata: “Tidak membenci kematian melainkan orang yang ragu dengan tuhannya kerana kekasih itu pada setiap masa dan keadaan tidak membenci untuk bertemu dengan kekasihnya.

Allah SWT berfirman:

Maka cita-citakanlah mati (supaya kamu dimatikan sekarang juga), jika betul kamu orang-orang yang benar. (al-Baqarah: 94)

Seseorang itu tidak suka kepada kematian kadang kala disebabkan kecintaannya kepada dunia, sedih untuk berpisah dari keluarga, harta dan anak-anaknya. Ini menafikan kesempurnaan kasihnya kepada Allah kerana kecintaan yang sempurna akan menenggelamkan seluruh hatinya.

Namun, ada kalanya seseorang itu tidak suka kepada kematian ketika berada pada permulaan makam Mahabbatullah. Dia bukan membenci kematian tetapi tidak mau saat itu dipercepatkan sebelum dia benar-benar bersedia untuk bertemu dengan Kekasihnya. Maka dia akan berusaha keras bagi menyiapkan segala kelengkapan dan bekalan sebelum menjelangnya saat tersebut. Keadaan ini tidak menunjukkan kekurangan kecintaannya.

Orang yang mencintai Allah sentiasa mengutamakan apa yang disukai Allah daripada kesukaannya zahir dan batin. Maka dia akan sentiasa merindui amal yang akan mendekatkannya kepada Kekasihnya dan menjauhkan diri daripada mengikut nafsunya.

Orang yang mengikut nafsunya adalah orang yang menjadikan nafsu sebagai tawanan dan kekasihnya, sedangkan orang yang mencintai Allah meninggalkan kehendak diri dan nafsunya kerana kehendak Kekasihnya.

Bahkan, apabila kecintaan kepada Allah telah dominan dalam diri seseorang, dia tidak akan lagi merasa seronok dengan selain Kekasihnya. Sebagaimana diceritakan, bahawa setelah Zulaikha beriman dan menikahi Nabi Yusuf a.s, maka dia sering bersendirian dan bersunyi-sunyian beribadat serta tidak begitu tertarik dengan Yusuf a.s sebagaimana sebelumnya.

Apabila Yusuf AS bertanya, maka dia berkata: “Wahai Yusuf! Aku mencintai kamu sebelum aku mengenali-Nya. Tetapi setelah aku mengenali-Nya, tidak ada lagi kecintaan kepada selainNya, dan aku tidak mahu sebarang gantian”. (Ihya’ Ulumiddin, Imam al Ghazali Jilid 5 H: 225)

Kecintaan kepada Allah merupakan sebab Allah mencintainya. Apabila Allah telah mengasihinya, maka Allah akan melindunginya dan membantunya menghadapi musuh-musuhnya. Musuh manusia itu ialah nafsunya sendiri.

Maka Allah tidak akan mengecewakannya dan menyerahkannya kepada nafsu dan syahwatnya. Oleh yang demikian Allah berfirman:

Dan Allah lebih mengetahui berkenaan musuh-musuh kamu, (oleh itu awasilah angkara musuh kamu itu). Dan cukuplah Allah sebagai pengawal yang melindungi, dan cukuplah Allah sebagai Penolong (yang menyelamatkan kamu dari angkara mereka). (al-Nisa’: 45)

Orang yang mencintai Allah, lidahnya tidak pernah terlepas dari menyebut nama Kekasih-Nya dan Allah tidak pernah hilang dari hatinya. Tanda cinta kepada Allah, dia suka menyebut-Nya, suka membaca al Quran yang merupakan kalam-Nya, suka kepada Rasulullah SAW dan suka kepada apa yang dinisbahkan kepada-Nya.

Orang yang mencintai Allah kegembiraan dan keseronokannya bermunajat kepada Allah dan membaca Kitab-Nya. Dia melazimi solat tahajjud dan bersungguh-sungguh beribadah pada waktu malam yang sunyi dan tenang. Sesiapa yang merasakan tidur dan berbual-bual lebih lazat daripada bermunajat dengan Allah, bagaimanakah hendak dikatakan kecintaannya itu benar? Orang yang mencintai Allah tidak merasa tenang melainkan dengan Kekasihnya. Firman Allah:

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan tenang tenteram hati mereka dengan zikrullah. Ketahuilah, dengan zikrullah itu, tenang tenteramlah hati manusia. (al Ra’d: 28)

Orang yang mencintai Allah tidak merasa sedih jika kehilangan sesuatu dari dunia ini tetapi amat sedih jika hatinya tidak lagi memiliki cinta kepada Allah. Besar kesalahan baginya jika ada saat-saat yang berlalu tidak diisi dengan zikrullah dan ketaatan kepadaNya, apatah lagi jika melakukan larangan Allah.

Orang yang mencintai Allah juga, merasa nikmat dan tidak berasa berat melakukan ketaatan. Dia tidak merasa ketaatan yang dilakukan semata-mata kerana tunduk dengan perintah-Nya tetapi dilakukan kerana kecintaan terhadap Kekasihnya. Imam al Junaid r.a berkata: “Tanda orang yang cintakan Allah, sentiasa bersemangat dan cergas melakukan amal ibadah dan hatinya tidak pernah lalai dan letih daripada mengingatiNya.”

Dia tidak pernah merasa sakit menghadapi cercaan orang-orang yang mencercanya kerana melaksanakan perintah Allah. Semua yang datang dari Kekasihnya sama ada suka atau duka diterima dengan hati yang gembira dan reda.

Orang yang telah mengenal dan mengecapi cinta Allah tidak akan tertarik dengan cinta yang lain. Itulah magnet cinta Allah. Alangkah ruginya orang yang hatinya tidak ingin mengenal cinta Allah, cinta yang hakiki dan sejati.