Kamis, 28 Januari 2010

Makna Dzikir

"Menjaga kesehatan hati sanubari di tengah godaan duniawi"

Etimologi kata dzikir: Ingat

Dari sudut bahasa arti dzikir adalah ingat atau antonimi (lawan kata) dari lupa (ar. nisyaan, ghaflah). Bisa digunakan kata dzikr, dzikra atau dzikrah dengan arti yang sama. Kata dzikir juga bisa berarti pujian atau keunggulan, mungkin karena hal itu sering diingat. Al-Quran disebutkan (Shad 38:1) {ص والقُرْآنِ ذى الذِّكْرِ} bahwa ia memiliki kemuliaan. Akar kata dzikir juga bisa dirubah menjadi tadzakkara atau iddakara yang berarti ingat setelah lupa. Dalam penjelasannya Dr. Amin Samad menyebutkan bahwa sebagian ulama memberi arti dzikir dalam Al-Quran mencapai 20 makna.

Ghaflah dan nisyaan

Dua kata yang menjadi antonimi dari kata dzikir adalah ghaflah dan nisyaan. Dua kata ini bisa berarti benar-benar lupa, atau bisa juga berarti ‘sengaja melupakan’. Kalau kata ghaflah lebih ditekankan pada lupa karena kurang perhatian sedang nisyaan lebih pada sengaja melupakan karena tidak ingin membuka mata terhadap kebenaran.

Dalam Al-Quran (al-Kahfi 18:28) Allah swt berfirman

} وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا {

Meminta Rasulullah saw untuk tetap duduk bersama orang-orang yang berdoa kepada Allah di saat pagi dan petang karena ikhlas. Beliau juga diminta untuk tidak menjauhi mereka meskipun mereka miskin dan pakaian mereka jelek serta bau hanya karena mengharap orang-orang kaya dan berpengaruh beriman. Jangan, Muhammad, jangan engkau turuti orang-orang yang telah lupa, tidak mengingat-Ku “aghfalnaa ‘an dzikrinaa”. Mereka hanya mengikuti hawa nafsunya dan urusan mereka sesungguhnya hanya sia-sia belaka.

Mufassir menjelaskan kata ghaflah di sini dengan keadaan hati yang disibukkan dengan urusan selain Allah sehingga lupa pada-Nya. Ibnu Katsir misalnya menafsirkan bahwa mereka adalah orang-orang yang disibukkan dengan dunia sehingga lupa pada ibadah. Ath-Thabari menyebutkan bahwa mereka sibuk dengan kekufuran dan menuruti hawa nafsu sehingga lupa pada Tuhan.

Kata nisyaan digunakan di Al-Quran dalam surat Thaha (20:125-126)

} قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أعمى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً * قَالَ كذلك أَتَتْكَ آياتنا فَنَسِيتَهَا وكذلك اليوم تنسى }

Allah swt menceritakan percakapan saat di akhirat kelak, ketika orang kafir dibangkitkan dalam keadaan buta padahal di dunia bisa melihat dan menanyakan hal itu pada Allah. Mereka dijawab “Begitulah keadaanmu dulu, telah datang tanda-tanda Kami padamu, tapi engkau lupakan ‘fanasitaha’. Maka hari ini engkau dilupakan pula.”

Mufassir memberikan arti nisyaan dengan keadaan tidak mau membuka hati untuk kebenaran sehingga lupa pada kebenaran itu. Ar-Razi misalnya mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah swt menjelaskan alasan mereka buta yakni sebagai balasan dari meninggalkan petunjuk-Nya dan mengingkarinya.

Mengapa perlu berdzikir

Dari ayat-ayat yang sudah disebutkan tadi setidaknya dapat diambil sedikit simpulan bahwa berdzikir penting dilakukan dan diulang-ulang karena hal itu berkaitan dengan masalah keimanan dan dampak masa depan (akhirat). Berdzikir memberi kesempatan untuk membuka diri terhadap kebenaran ilahi dan tidak dibutakan oleh kesibukan duniawi.

Dalam bahasa lain disebutkan bahwa urusan dzikir adalah urusan hati (keyakinan). Padahal hati adalah penggerak utama kehidupan manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “Dalam diri manusia ada sebuah elemen/organ yang bila ia baik maka akan baik pula seluruhnya, dan kalau rusak maka akan rusak pula semuanya. Itulah hati/jantung”. Hadits ini baik diartikan secara jasmani atau ruhani memberi petunjuk yang penting. Memang kalau jantung kita sehat, tubuh kita juga sehat. Demikian pula kalau hati sanubari kita jernih, lapang dan tulus, maka kehidupan individual dan sosial kita pun jadi sehat dan bermanfaat. Dan seperti juga kesehatan jantung itu perlu selalu dijaga, maka kesehatan hati sanubari pun perlu selalu dijaga.

Di dalam Al-Quran dapat kita temukan bahwa kehidupan emosional dan spiritual yang sehat itu didorong untuk diciptakan dengan dzikir (ar-Ra’d 13:28). {الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}, orang-orang beriman hatinya tenang dengan berdzikir pada Allah, ingat, dengan dzikir hati akan jadi tenang. Sebaliknya, mereka yang tidak mau mengingat Allah dijanjikan kehidupan yang sempit seperti dalam surat Thaha (20:124) {وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}, siapa yang ingkar untuk mengingat-Ku, maka sungguh untuknya kehidupan yang sempit dan akan Kami bangkitkan di hari kiamat dalam keadaan buta.

Berdzikir bukan berarti meninggalkan dunia, tempat dimana kita hidup. Namun menyadarkan manusia untuk menyiapkan diri bagi kehidupan masa depan yang panjang. Sudah jamak bahkan dalam kehidupan dunia kita ini untuk melakukan planning masa depan. Namun biasanya anak kecil susah untuk diajak berpikir ke sana. Hanya dengan bimbingan orangtua yang selalu mengingatkan sang anak akan masa depan maka sang anak akan sadar akan hal itu. Kata dunia sendiri artinya adalah dekat (atau kehidupan jangka pendek) sedang kata akhirat berarti yang ujung (atau kehidupan jangka panjang). Kehidupan dunia adalah untuk menanam kebaikan demi masa depan, bukan untuk kehidupan dunia itu sendiri. Dzikir atau kesadaran tentang Allah swt lah yang akan membantu hal itu. Nah dengan dzikir (kesadaran akan Allah swt) akan membantu manusia, seperti telah disebutkan sebelumnya, untuk tidak dibutakan oleh kesibukan duniawi sehingga melupakan akhirat.

Dzikir sebagai sebuah jenis ibadah

Adalah amalan dengan menggunakan lidah dan hati untuk mengingat Allah swt. Bisa dilakukan sendiri-sendiri atau dalam kelompok, bersuara keras atau lembut, bisa menggunakan jari-jari atau alat hitung seperti tasbih. Adapun lafaz-lafaznya bisa diambil dari Al-Quran, hadits, atau disusun sendiri selama tidak bertentangan dengan intisari kedua sumber tadi. Seperti dalam sebuah hadits yang dijadikan argumen oleh Ibnu Hajar dalam syarah al-Bukhari (vol.2:287 dikutip dari Fatwa Darul Ifta’ Mesir) tentang kebolehan menyusun dzikir dalam shalat dengan bentuk yang tidak diajarkan Nabi selama tidak bertentangan dengan yang diajarkan. Rifa’ah bin Rafi’ az-Zarqi ra bercerita, satu hari kita shalat di belakang Rasulullah saw. Saat bangun dari ruku’, beliau membaca { سمع الله لمن حمده }. Seorang laki-laki di belakang beliau mengucapkan { ربنا ولك الحمد، حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه }. Setelah selesai shalat, Rasulullah saw bertanya siapa yang membacanya. Orang itu mengaku. Rasulullah saw lalu bersabda, “Aku lihat tigapuluhan malaikat berebut, siapa yang mencatatnya lebih dulu”.

Dzikir dan ibadah lain

Dzikir sangat erat kaitannya dengan ibadah lain. Bahkan di dalam Al-Quran banyak jenis ibadah yang disebut juga sebagai dzikir. Hal itu karena dzikir (ingat kepada Allah swt) merupakan komponen utamanya atau merupakan tujuan utamanya. Misalnya, khutbah dan shalat Jum’at disebut sebagai dzikir dalam firman Allah { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا البَيْعَ } (Jum’ah 62:9), haji khususnya mabit di Mina { وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ } (al-Baqarah 2:203) disebut dzikir juga, demikian pula dengan shalat { فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ } (al-Baqarah 2:239).

Namun dalam ayat-ayat lain bisa kita temukan bahwa penggunaan kata dzikir dan jenis-jenis ibadah ini dipisah. Misalnya, { إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي } (Thaha 20:14) mengenai shalat atau dalam ayat { فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا } (al-Baqarah 2:200) mengenai haji. Dengan demikian terlihat bahwa tujuan atau komponen utama ibadah itu adalah dzikir.

Dzikir dan diingat Allah swt

Di dalam Al-Quran Allah berfirman { فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُون } (al-Baqarah 2:152) mengajak manusia untuk mengingat-Nya agar Allah swt memberi balasan setimpal dengan mengingat hamba-Nya tersebut. Sebagai penjelasan terhadap ayat ini Rasulullah saw menyampaikan sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah) yang isinya bahwa Allah swt akan bersama hamba-Nya apabila ia mengingat -Nya. Apabila ia mengingat Allah swt di dalam dirinya maka Allah akan mengingatnya sendiri. Apabila mengingat Allah swt di dalam sekelompok manusia, maka Allah akan menyebutnya di kelompok yang lebih mulia (malaikat). Selanjutnya kalau hamba-Nya mendekatkan diri kepada Allah swt sekecil apa pun, maka jaraknya dari Allah akan semakin dekat. Hal itu karena Allah memperpendek jarak dan waktu tempuhnya berlipat, sejengkal jadi sebahu, sebahu jadi selebar kaki, berjalan kaki jadi berlari, dst.

Sebagai penafsiran terhadap ayat tersebut, Syeikh Abdul Qadir (al-Ghunyah vol 2:43 dikutip dari Muntadayat Syamsul Ma’ani) menambahkan dengan detail penafsiran. Apabila hamba Allah swt mengingat-Nya dengan kerinduan dan kecintaan, maka Allah swt akan mengingatnya dengan membuat koneksi dan kedekatan. Mengingat-Nya dengan pengagungan dan pujian, maka Allah akan mengingatnya dengan pemberian dan reward/balasan. Mengingat-Nya dengan taubat, akan diingat dengan ampunan dosa. Mengingat-Nya dengan doa, akan diingat dengan balasan. Mengingat-Nya dengan permintaan, akan diingat dengan pemberian. Mengingat-Nya tanpa lupa, akan diingat dengan cepat. Mengingat-Nya dengan rasa sesal, akan dingat dengan kemuliaan. Mengingat-Nya dengan rasa berdosa, akan diingat dengan pemaafan. Mengingat-Nya dengan iman, akan diingat dengan sorga. Mengingat-Nya dengan hati, akan diingat dengan membuka tabirnya. Mengingat-Nya dengan kejernihan batin, akan diingat dengan kebaikan yang murni. Mengigat-Nya dengan susah payah akan diingat dengan karunia yang sempurna.

Dzikir, cinta Allah dan perilaku sosial

Salah satu tujuan utama dzikir adalah juga untuk menggapai cinta Allah, baik cintanya pada Allah swt atau cinta Allah swt padanya. Seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah swt seperti dalam hadits sebelumnya karena cinta pada Allah akan diberi jawaban dengan kecintaan Allah swt padanya. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya Allah swt apabila mencintai seorang hamba maka akan memanggil malaikat Jibril dan menyatakan bahwa ‘Aku telah mencintai si polan maka cintailah dia’. Malaikat Jibril langsung ikut mencintainya dan mengumumkan ke langit menyampaikan bahwa Allah swt telah mencintai si polan, maka cintailah dia. Demikianlah maka penduduk langit pun mencintai si polan dan dia ditempatkan agar dicintai pula oleh penduduk dunia.”

Disamping sikap-sikap yang berkaitan dengan ketulusan ibadah pada Allah, sikap-sikap sosial pun akan tampak pada seorang yang mencintai Allah swt. Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abi Yasir dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah disabdakan bahwa “Seorang yang cinta agar memperoleh payung Allah hendaklah memperhatikan orang yang kesulitan, berupaya untuk meringankan kesulitannya”. Atau dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah saw bersabda “Siapa yang cinta agar dilepaskan dari api neraka dan dimasukkan sorga maka hendaklah ia menemui ajalnya dalam keadaan beriman pada Allah dan hari kiamat serta selalu bersikap dengan orang lain seperti ia ingin agar orang lain bersikap seperti itu pula padanya”, yakni saling berbuat baik, saling menghormati dan tidak saling menyakiti. Demikian juga dengan hadits dari A’isyah, Rasulullah saw memintanya, “Wahai A’isyah jangan engkau tolak seorang miskin pun meski hanya dengan separuh/sebagian buah kurma. Wahai A’isyah cintailah orang miskin dan dekatilah mereka, maka Allah akan membuatmu dekat padanya di hari kiamat”.

Jadi kecintaan pada Allah swt akan terlihat dampaknya dalam kehidupan sosial dalam bentuk saling menghormati, selalu berupaya untuk membantu orang lain dan tidak menyakiti pihak lain. Dzikir kepada Allah swt adalah sarana penting dalam membentuk perilaku sosial tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar